Majalah Selangkah.com Seseorang
atau sekelompok orang yang berkunjung ke rumah orang lain adalah tamu.
Sebagai
tamu, ketika sampai di rumah orang yang hendak dikunjungi, tentu saja hal
pertama yang dilakukan adalah mengetuk pintu dan/atau memberi salam dengan
santun.
Selanjutnya
tamu bisa masuk ke rumah orang yang dikunjungi apabila diizinkan oleh tuan
rumah. Ini adalah etika universal, yang berlaku dalam hampir semua kebudayaan
di dunia.
Hal yang berbeda adalah pencuri.
Seseorang
atau sekelompok orang yang hendak mencuri di rumah atau tempat orang lain,
tentu saja tidak akan memberi tahu pemilik rumah atau tempat tertentu mengenai
aksi pencuriannya.
Selanjutnya,
dengan penuh rahasia pencuri melaksanakan aksinya, bahkan hingga dapat membunuh
tuan rumah atau pihak lainnya yang dinilai mengetahui dan/atau menghalangi aksi
bejatnya.
Dalam
aksi pencurian tidak ada nilai etikanya, karena semuanya dilaksakan dengan
motif jahat.
Apakah
para migran (orang non-asli papua) yang masuk ke papua dari luar papua secara
liar dalam jumlah besar setiap hari adalah tamu atau pencuri? Jawabannya tentu
beraneka ragam sesuai dengan kapasitas dan kepentingan masing-masing orang.
Mayoritas
orang asli papua tentu saja akan mengatakan mereka adalah “pencuri” (bahkan
disebut “penjajah”), yang hendak menduduki dan mencuri (menjajah) papua. Para
migran tentu saja tidak akan merasa dan mengakui dirinya sebagai pencuri
(penjajah), karena merasa berhak ke papua dan menetap sebagai bagian dari
wilayah nkri.
Pemerintah
sudah tentu apatis dengan migrasi ini dan justru menganggapnya sebagai hal yang
wajar atau semestinya, bahkan dianggap legal untuk menyebarkan penduduk dari
wilayah yang padat penduduknya di wilayah yang jarang penduduknya seperti
papua.
Tetapi
jika melihat proses migrasi dan motif yang tekandung di dalamnya secara
obyektif, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai aksi pendudukan dan
penjajahan.
Para
migran berperilaku seperti pencuri. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa
alasan.
Pertama,
tindakan migrasi dilakukan secara ilegal.
Tak
ada dasar hukum apapun yang memperbolehkan mereka memasuki dan menduduki papua,
aturan perundang-undangan yang mengatur tentang kependudukan (misalnya perdasi
tentang kependudukan) dilanggar, bahkan urusan administrasi kependudukan juga
diabaikan begitu saja.
Kedua,
arus migrasi dan jumlah migran tak terkendalikan. Migrasi terjadi setiap hari,
yang kedatangannya melalui kapal laut dan pesawat udara, yang jumlahnya
diperkirakan ribuan bahkan ratusan ribu orang setiap hari.
Ketiga,
pemerintah sangat apatis terhadap proses migrasi liar dan besar-besaran ini.
Wilayah
papua dengan status khusus dalam politik dan pemerintahan di indonesia justru
dibaikan, tidak ada kebijakan dan tindakan afirmasi untuk meproteksi orang asli
papua, termasuk dari ancama pendudukan dan penjajahan wilayah papua oleh para
migran.
Keempat,
besarnya arus migrasi para migran dan tindakan apatis pemerintah justru
mengindikasikan kuatnya motif politik dan ekonomi untuk kepentingan mereka
semata.
Pemerintah
mempunyai kepentingan mempertahankan wilayah papua dalam nkri, menjadikan
wilayah papua sebagai “lumbung ekonomi” indonesia, dan menjadikan wilayah papua
sebagai wilayah tujuan penyebaran penduduk. Sedangkan para migran sendiri
mempunyai kepentingan “mencari makan” dan “memperkaya diri” di papua, karena di
tempat asalnya cenderung miskin (bahkan mayoritasnya “miskin absolut”).
Kelima,
para migran dan pemerintah mengabaikan etika, moral, dan proses pemerintahan dan
pembangunan yang baik dan benar. Mereka “tidak mampu” untuk menilai kebaikan
dan kebenaran tindakannya. Mereka tidak mempunyai belas kasihan, tidak
mempunyai kemauan baik untuk melindungi orang asli papua sebagai warga negara
minoritas dalam nkri, dan tidak melaksanakan ketentuan undang-undang otonomi
khusus papua.
Sekarang,
masihkah kita mau menyangkal kejahatan migrasi liar dan besar-besaran, yang
para migrannya bersama pemerintah bersama-sama sedang menduduki dan menjajah
papua ini?
Penulis:mahasiswa
papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar