Majalah Selangkah Com Pada zaman
dahulu, di sebuah perkampungan, hiduplah seorang pemuda. Pemuda itu berparas
tampan. Ia pekerja keras. Setiap hari, lelaki itu mengurusi ladangnya, karena
ia tidak memunyai isteri, untuk membantunya bekerja di kebun.
Kehidupannya damai tenteram. Di kebunnya, berbagai macam
bahan makanan telah ditanamnya, dan ia tidak kekurangan satu pun tentangnya.
Namun, ada yang kurang dari hidup pemuda ini. Ia tidak pandai berburu, seperti
pemuda sekampung lainnya. Oleh karenanya, ia sering dipanggil perempuan,
dan sering diojek oleh teman-teman lelakinya sebagai
perempuan.
Hal ini biasanya membuat pemuda itu sakit hati.
Suatu hari, lelaki itu tak tahan lagi mendengar omelan dan cacian dari semua
pemuda sebayanya di kampung itu. Ia memutuskan untuk berburu. Maka, segala
jenis perlengkapan berburu seperti busur dan anak panah, bekal, dan lain
sebagainya ia siapkan.
Setelah siap semuanya, maka pada suatu pagi yang cerah,
sebelum metahari menyembul ke permukaan mengusir malam, pemuda itu telah keluar
rumahnya. Ia keluar untuk berburu. Di tangannya, dibawahnyalah busur dan anak
panah. Di pundaknya, dibawanya bekal makanan di dalam noken. Ia takut
kepergiannya untuk berburu diketahui dan malah ditertawai oleh sesama pemuda di
kampungnya, dan oleh karena itulah ia keluar sepagi itu untuk berburu.
Hutan lebat di depannya ia telusuri. Namun, karena ia
tidak tahu cara cara dan teknik berburu yang digunakan lazimnya, maka ia
bingung akan berbuat apa dari dalam hutan. Terpaksa ia seharian itu menyusuri
hutan. Beberapa burung ia dapati. Beberapa binatang buruan sering ia jumpai di
dalam hutan. Namun, tidak ada satu pun yang dapat ia panah.
Pemuda itu kesal. Pemuda itu cape. Ia memutuskan
untuk berisitrahat sejenak. Sambil beristirahat, mulailah ia belajar melesakkan
panah tepat pada sasarannya. Ia membuat bulatan kecil di sebuah batang pohon
besar, dan berusaha memanahnya tepat di tengah-tengah titik itu. Namun, tak
satupun dari parusan tembakan anak panahnya ayng mengenai sasaran yang diinginkan.
Pemuda itu tidak kecewa dengan hal ini. Malah ia
bertambah senang, karena ia dapat semakin memahami teknik menembak menggunakan
busur dan anak panah. Akhirnya, hari sudah sore. Pemuda itu memutuskan untuk
pulang saja ke rumah. Namun, ia malu juga, karena seharian berburu, tidak
satupun binatang buruan yang ia dapat. Ia malu kepada teman-temannya di
kampung. Apa kata mereka nanti bila melihat saya pulang berburu dengan tangan
kosong? begitu pertanyaan yang selalu terging di benaknya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk mengunjungi saja kebunnya
yang letaknya di bibir hutan itu. Segera ia sampai ke kebunnya. Hari sudah
semakin senja. Matahari sudah semakin terbenam. Lelaki itu tiba di bibir kebun.
Ada sesuatu yang dilihatnya bergerak, seperti benda hitam
tampaknya. Di dalam rerumputan itu, di pinggir pohon pisang, diantara
rimbunnya atanaman ubi yang ditanamnya, ia melihat ada sekawanan binatang.
Dengan mengendap-endap karena ingin tahu, lelaki itu
mendekatinya. Dari dekat, dilihatnyalah seekor babi hutan dengan tujuh ekor
anaknya yang masih kecil sedang mencungkil dan memakan tanaman ubi miliknya di
kebun itu. Dengan segera, diambilnyalah panah, dan dibidiknyalah induk babi
itu.
Namun sayang. Karena ia belum terlatih untuk menembak,
tembakannya jauh dari sasaran. Anak panahnya mengenai telinga induk babi.
Sementara karena kaget, babi itu berteriak keras, dan meninggalkan tempat
itu, dengan lari sekencang-kencangnya. Sementara itu, anak-anaknya tercerai
berai. Melihat kejadian itu, maka pemuda itu segera berlari mengejar salah satu
anak babi.
Karena anak babi itu kecil, maka dengan gampangnya dapat
ditangkap pemuda itu. Dengan rasa senag yang amant sangat, maka segera ia
meninggalkan kebunnya dengan menggendong anak babi tersebut. Sesampainya
dirumah, ia menyiapkan kandang kecil di samping rumah. Kemudian, anak babi itu
dimasukkan ke dalam kandang itu.
Hari berganti, bulan berlalu. Anak babi itu semakin
besar. Anak babi peliharaannya itu seperi manusia rasanya. Bila ke kebun,
anak babi itu akan mengikutinya dari belakang. Ketika ia pulang dari kebun,
anak babi itu pun akan mengikutinya dari belakang pula. Bila pemuda itu
memanggil nama babi, maka dengan cepat akan direspon oleh babi itu dengan
teriakan kecilnya.
Suatu pagi yang cerah, pemuda itu pergi ke kebun. Seperti
biasa, babinya itu mengikutinya dari belakang. Setelah bekerja seharian, kali
itu ia agak kelelahan. Oleh karenanya, ia ingin pulang lebih cepat dari
biasanya. Ia memanggil babinya. Ketika babinya itu muncul, lelaki itu berjalan
menuju rumah.
Pikirnya, babi itu akan mengikutinya seperti biasa dari
belakang. Namun sial bagi pemuda itu. Sesampainya di rumah, ia mendapati
babinya itu tidak bersamanya. Pemuda itu kaget, dan menoleh ke samping kiri dan
kanan ia berdiri. Segera noken berisi ubi jalar, sayuran dan air yang dibawa ia
lepaskan, dan berlari kecil kembali ke arah kebun, mencari babinya itu. Namun,
babi itu tiada didapatnya juga. Babi itu telah hilang.
Pemuda itu sedih. Malam itu, ia kembali ke rumah. Ia
tidak makan malam itu. Keesokan paginya, ia mempersiapkan segalanya untuk
mencari babinya. Ia mencari sambil memanggil-manggil babinya, namun tiada
keliahatan. Karena putus asa, di sebuah tempat yang teduh, ia duduk.
Sekilas, di samping kanan jalan, dilihatnya sebuah
gundukan rumput tebal. Gundukan rumput itu bergerak gerak. Dengan sigap, lelaki
itu segera dengan tidak menimbulkan suara mendekati gundukan rumput yang masih
bergrak itu, dan memasukkan tangannya meraba benda yang bergerak itu.
Tangannya menjamah binatang liar, semacam pihaii
(kangguru). Ia segera memegang kedua telinga dan kaki Pihaii tersebut, dan
mengeluarkannya dari gundukan rumput. Pihaii itu sangat besar, sebesar anak
babinya. Sesaat, timbul di pikirannya untuk menikmati saja daging pihaii, yang
tentunya tidak kalah nikmatnya di banding daging babi.
Segera ia membawa pulang babi itu. Sesampainya di rumah,
ia melihat lagi Pihaii yang bergerak-gerak di dalam kurungan, minta dilepaskan
itu. Kemudian, gerakan-gerakan pemberontakan Pihaii untuk melepaskan diri dari
dalam kurungan itu, berlahan membuat pemuda itu berpikir, apa jadinya bila ia
yang menempati kondisi dan keadaan Pihaii seperti di dalam kurungan.
Lagipula, sebenarnya tujuanku ke hutan, bukan untuk
mencari Pihaii ini. Dia kebetulan aku dapat di hutan. Dia bukanlah yang aku cari,
begitu ia membatin.
Ia juga sadar, bahwa sesungguhnya tindakannya mencerai
beraikan induk babi dengan anak-anaknya itu salah. Ia telah merampas
kebahagiaan keluarga babi itu dengan tindakannya itu. Tindakannya mengambil
Pihaii dan mengurungnya dalam kurungan, juga babi itu telah menodai
kemerdekaan mereka sebagai binatang yang bebas merdeka untuk hidup di
alam mereka.
Maka Pemuda itu segera membawa kurungan itu ke luar
rumah, dan sore itu juga, sebelum matahari terbenam, ia telah sampai pada
gundukan rumput tempat ia memeroleh Pihaii tersebut, dan melepasnya kembali
sambil berkata:
Pihaii, bukan kamu yang saya cari. Kembalilah ke alammu.
Bila kau bertemu babiku di hutan, sampaikan salamku padanya. Katakan padanya:
semoga ia dapat hidup dan berkembangbiak di alamnya dan bahagia. []
Penulis:cerita Rakyat, Papua, Suku
Mee, Dogiyai